Selasa, 29 Juni 2010

Keluarnya Dajjal

0 komentar

Oleh :
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Pemahaman Ahlus Sunnah tentang Dajjal sebagai berikut:

1. Siapakah Dajjal?
Dajjal adalah seorang anak Adam yang mempunyai ciri-ciri yang jelas, akan dapat dikenali oleh setiap mukmin apabila ia telah keluar, sehingga mereka tidak terkena fitnahnya. Fitnah Dajjal adalah fitnah yang paling besar di muka bumi.

2. Di Antara Ciri-Ciri Dajjal
Seorang yang masih muda, wajahnya merah, pendek, kakinya bengkok, rambutnya keriting, mata sebelah kanannya buta (menonjol keluar) bagaikan buah anggur yang mengapung, di atas mata kirinya ada daging tumbuh, tertulis di antara kedua matanya: (ك ف ر /كافر (kafir)) dapat dibaca oleh setiap Mukmin yang bisa baca tulis dan yang tidak bisa baca tulis. Dajjal adalah seorang yang mandul tidak mempunyai anak.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.


مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ وَقَدْ أَنْذَرَ أُمَّتَهُ اْلأَعْوَرَ الْكَذَّابَ: أَلاَ إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ، مَكْتُوْبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: ك ف ر يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُسْلِمٍ.

"Tidak ada seorang Nabi pun kecuali telah memperingat-kan ummatnya tentang Dajjal yang buta sebelah lagi pen-dusta. Ketahuilah bahwa Dajjal matanya buta sebelah se-dangkan Allah tidak buta sebelah. Tertulis di antara ke-dua matanya: ك ف ر / كافر (kafir) -yang mampu dibaca oleh setiap Muslim-." [2]

3. Tempat Keluarnya Dajjal
Dajjal akan muncul dari arah timur dari Khurasan (sekarang terletak di Iran timur) dengan diiringi 70.000 orang Yahudi Ashbahan (sebuah kota di tengah Iran). [3]

4. Tempat Yang Dimasuki Dajjal
Dajjal berjalan di muka bumi dengan cepat seperti hujan yang ditiup angin, ia masuk ke setiap negeri kecuali Makkah dan Madinah karena (kedua kota tersebut) dijaga para Malaikat. Ketika ia tidak dapat masuk Madinah, maka kota Madinah berguncang tiga kali, lalu keluarlah orang kafir dan munafiq, kaum munafiq laki-laki dan perempuan (keluar) menuju Dajjal. [4] Dalam riwayat lain, keluarlah orang munafiq laki-laki dan perempuan, dan fasiq laki-laki dan perempuan menuju Dajjal, itulah Yaumul Khalash (hari Pembebasan). [5] Di riwayat yang lain, Dajjal tidak dapat masuk ke empat masjid yaitu:
Masjid al-Haram, Masjid Nabawy, Masjid al-Aqsha, dan Masjid ath-Thuur. [6]

5. Keberadaan Dajjal Di Muka Bumi
Dajjal berada di muka bumi selama 40 hari. Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, dan sisa-nya seperti hari-hari biasa. [7]

6. Fitnah Dajjal
Fitnah Dajjal merupakan fitnah yang paling besar sejak Allah ciptakan Adam sampai hari Kiamat. [8] Dajjal membawa dua sungai yang mengalir, salah satunya terlihat air putih, dan yang lainnya terlihat api yang menyala-nyala, apabila seseorang mendapati hal itu hendaklah ia masuk ke sungai yang tampak api, pejamkan mata, tundukkan kepala, minumlah! Itu adalah air yang sejuk. [9] Dajjal mengaku sebagai rabb, menyuruh hujan untuk turun, lalu turun, menyuruh bumi untuk menumbuhkan tanaman, lalu tumbuh tanaman, menghidupkan orang mati dan yang lainnya sebagai fitnah bagi kaum Muslimin. [10]

7. Dibunuhnya Dajjal
Dajjal akan dibunuh oleh Nabi ‘Isa Alaihissalam di Bab Ludd (suatu desa di dekat Baitul Maqdis, di Palestina). [11]

8. Penjagaan Diri dari Fitnah Dajjal
a. Berlindung kepada Allah dari fitnahnya, setiap selesai dari tasyahhud akhir setiap shalat.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ اْلآخِرِ، فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.

“Apabila seseorang di antara kalian telah selesai tasyahhud akhir, maka berlindunglah kepada Allah dari empat hal: (1) dari adzab Jahannam, (2) dari adzab kubur, (3) fitnah hidup dan mati, serta (4) dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” [12]

Do’a perlindungan dari fitnah Dajjal yang dibaca setelah tasyahhud akhir setiap shalat adalah sebagai berikut:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah hidup dan mati, serta dari kejahatan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” [13]

b. Menghafal sepuluh ayat pertama dari surat al-Kahfi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْكَهْفِ، عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ.

“Barangsiapa yang hafal sepuluh ayat pertama dari surat al-Kahfi, dia terjaga dari fitnah Dajjal.” [14]

Pada riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...فَمَنْ أَدْرَكَهُ مِنْكُمْ فَلْيَقْرَأْ عَلَيْهِ فَوَاتِحَ سُوْرَةِ الْكَهْفِ فَإِنَّهَا جِوَارُكُمْ مِنْ فِتْنَتِهِ ...

“Barangsiapa di antara kalian yang mengetahui fitnah Dajjal, maka bacalah beberapa ayat pada awal surat al-Kahfi, karena sesungguhnya itu akan melindungi kalian dari fitnahnya (Dajjal).” [15]

c. Menjauhi tempat fitnah dan tidak mengikutinya.
d. Tinggal di Makkah dan Madinah.

Imam an-Nawawi Rahimahullah [16] di dalam Syarah Shahiih Muslim menukilkan perkataan al-Qadhi Iyadh Rahimahullahj: [17] “Hadits-hadits tentang Dajjal merupakan hujjah Ahlus Sunnah tentang keshahihan adanya Dajjal. Bahwa ia merupakan sosok tertentu yang dengannya Allah menguji para hamba-Nya.”

Allah membekalinya dengan kemampuan untuk melakukan banyak hal, seperti menghidupkan mayat yang telah dibunuhnya. Ia (Dajjal) seolah-olah dapat menciptakan segala kemewahan dunia, sungai-sungai, Surga dan Neraka, tunduknya segala kekayaan bumi padanya, memerintahkan langit untuk menurunkan hujan maka terjadilah hujan, memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tumbuhan, maka tumbuhlah. Semua itu atas kehendak Allah. Kemudian ia dilemahkan, sehingga tidak mampu untuk membunuh seorang pun juga dan membatalkan perintahnya. Akhirnya terbunuh di tangan ‘Isa bin Maryam. Pemahaman ini ditentang dan diingkari oleh Khawarij dan Jahmiyah serta sebagian dari kaum Mu’tazilah.” [18]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. Keterangan lebih lanjut lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim oleh Ibnu Katsir, Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Asyraathus Saa’ah oleh Dr. Yusuf al-Wabil (hal. 275-335).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 7131, 7408), Muslim (no. 2933), Abu Dawud (no. 4316, 4318), at-Tirmidzi (no. 2245), Ahmad (III/103, 173, 276, 290), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu. Lafazh yang ada dalam kurung milik Muslim dan Ahmad. Lihat Qishshatul Masiihid Dajjaal oleh Syaikh al-Albani (hal. 53).
[3]. HR. Muslim (no. 2944), Ahmad (no. 13277) tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, hadits ini derajatnya hasan, dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 1881), Muslim (no. 2943), Ahmad (III/191, 206, 238, 292) dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu
[5]. HR. Ahmad (IV/338) dan Hakim (IV/543) dari Sahabat Mihjan bin al-Adru' Radhiyallahu 'anhu
[6]. HR. Ahmad. Imam al-Haitsamy berkata: “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, rawi-rawinya shahih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/343). Al-Hafizh Ibnu Hajar ber-kata: “Rawi-rawinya tsiqah.” (Fat-hul Baari XIII/105).
[7]. HR. Muslim no. 2937 (110), Abu Dawud no. 4321.
[8]. HR. Muslim (no. 2946) dari Sahabat ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu.
[9]. HR. Muslim (no. 2934 (105)) dari Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu a'nahu
[10]. HR. Muslim (no. 2937 (110)).
[11] HR. At-Tirmidzi (no. 2244), Ibnu Hibban (no. 1901-Mawaariduzh Zham’aan), Ahmad (III/420), dari Sahabat Mujammi’ bin Jariyah al-Anshari z. At-Tir-midzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[12]. HR. Muslim (no. 588 (130)) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[13]. HR. Muslim (no. 588 (128)) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[14]. HR. Muslim (no. 809) dan Ahmad (VI/449) dari Sahabat Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini shahih, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 582).
[15]. HR. Muslim (no. 2937 (110)), Abu Dawud (no. 4321) dari an-Nawwaas bin Sam’an al-Kilabi Radhiyallahu . Hadits ini shahih, lihat Shahiih Abi Dawud (no. 3631).
[16]. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam, Abu Zakaria an-Nawawy. Seorang ahli fiqih dan hadits, lahir tahun 631 H. Di desa Nawa di Suriyah dan meninggal dunia tahun 676 H. Beliau adalah seorang yang menguasai ilmu hadits, fiqih, bahasa, seorang yang zuhud dan wara. Penulis dari kitab Riyaadhus Shaalihiin, Syarah Shahiih Muslim, al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, al-Adzkaar dan yang lainnya.
[17]. Nama lengkapnya al-Qadhi Iyadh bin Musa bin Iyadh bin ‘Umar al-Yahshabi as-Sabti t, seorang Imam yang faqih di negeri Maghrib, lahir 476 H, menjadi Imam di bidang hadits, nahwu, bahasa dan nasab. Menjadi Qadhi di negerinya (Sabtah) dalam waktu yang lama, kemudian menjadi Qadhi di Granada. Beliau meninggal dunia di Maroko tahun 544 H.
[18]. Syarah Shahih Muslim (XVIII/58).

Turunnya Nabi Isa Alaihissalam Di Akhir Zaman

0 komentar

Oleh :
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah mengimani tentang turunnya Nabi ‘Isa Alaihisslam di akhir zaman. Sifat-sifat Nabi ‘Isa Alaihissalam yang tercantum di berbagai riwayat adalah beliau seorang laki-laki, berperawakan tidak tinggi juga tidak pendek, kulitnya kemerah-merahan, rambut-nya keriting, berdada bidang, rambutnya meneteskan air seolah-olah beliau baru keluar dari kamar mandi, beliau membiarkan rambutnya terurai memenuhi kedua pundaknya.

Setelah keluarnya Dajjal dan terjadinya kerusakan di muka bumi, maka Allah mengutus Nabi ‘Isa Alaihissalam untuk turun ke bumi.

Beliau Alaihissalam turun di Menara Putih yang terletak sebelah timur kota Damaskus di Syam (Syiria). Beliau Alaihissalam menggunakan dua pakaian yang dicelup sambil meletakkan kedua tangannya pada sayap dua Malaikat, apabila beliau menundukkan kepala, maka (seolah-olah) meneteskan air, apabila beliau mengangkat kepala maka (seolah-olah) berjatuhanlah tetesan-tetesan itu bagai manik-manik mutiara. Dan tidak seorang kafir pun yang mencium nafasnya melainkan akan mati padahal nafasnya sejauh mata memandang. [2] Beliau turun di tengah golongan yang dimenangkan (ath-Thaaifatul Manshuurah) yang berperang di jalan haq dan berkumpul untuk memerangi Dajjal. [3] Beliau turun pada waktu didirikannya shalat Shubuh dan shalat di belakang pemimpin golongan tersebut. Beliau tidak membawa syari’at baru namun mengikuti syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [4]

Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam di akhir zaman tercantum di dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, bahkan riwayat-riwayatnya mutawatir. Diriwayatkan lebih dari 25 Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil dari Al-Qur-an al-Karim:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikanmu kepada akhir ajalmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian hanya kepada Aku-lah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya.’” [Ali ‘Imran: 55]

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah: إِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ “Sesungguhnya Aku akan menyampaikanmu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku...”

Menurut Qatadah dan ulama lainnya: “Ini merupakan bentuk kalimat dalam bentuk muqaddam dan muakhkhar (yaitu bentuk kalimat yang mendahulukan apa yang seharusnya ada di akhir, dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan). Kedudukan sebenarnya adalah إِنِّيْ رَافِعُكَ إِلَيَّ وَ مُتَوَفِّيْكَ “ Yakni Aku mengangkatmu kepada-Ku dan mewafatkanmu.

Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kematian tersebut adalah tidur, sebagaimana firman-Nya وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ “Dan Dia-lah yang menidurkan kalian di malam hari.” [Al-An’aam: 60]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اللهُ يَتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا Allah yang memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati pada waktu tidurnya.". [Az-Zumar: 42]

2. Firman Allah Azza Wa Jala
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putera Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [An-Nisaa': 157-158]

Allah mengangkat Nabi ‘Isa Alaihissaalam dalam keadaan hidup dengan ruh dan jasadnya, ayat di atas sebagai dalil untuk membantah orang-orang Yahudi yang menyangka ‘Isa dibunuh dan disalib. Kalau yang diangkat ruhnya saja, maka apa bedanya Nabi ‘Isa dengan Nabi-nabi yang lainnya, bahkan juga kaum Mukminin, semua ruhnya diangkat Allah sesudah wafat! Jadi, tidak beda antara Nabi ‘Isa dengan yang lainnya? Lantas apa manfaat penyebutan diangkat ke langit, kalau bukan yang di-angkat ruh dan jasadnya?! [5]

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah -setelah menafsirkan ayat ini- kemudian membawakan beberapa hadits tentang turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam. Beliau Rahimahullah berkata: “Inilah hadits-hadits mutawatir yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari para Sahabat, seperti Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, ‘Utsman bin Abil ‘Ash, Abu Umamah, an-Nawwas bin Sam’an, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Mujammi’ bin Jariyah, Abu Syuraikah dan Hudzaifah bin Usaid Radhiyallahu ‘anhum. Di dalam hadits-hadits ini mengandung petunjuk tentang sifat-sifat turunnya, juga tempatnya, yaitu ia akan turun di Syam (Syiria) tepatnya di Damaskus pada menara timur dan terjadi ketika akan didirikan shalat Shubuh. [6]

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya ‘Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari Kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang Kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus.” [Az-Zukhruuf: 61]

Tafsiran lafazh: : وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِّلسَّاعَة menurut Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana tercantum dalam kitab Tafsiir Ibni Katsiir adalah turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam sebelum hari Kiamat. Kemudian dijelaskan juga oleh Ibnu Katsir Rahimahullah hadits-hadits tentang turunnya Nabi ‘Isa sebelum hari Kiamat diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Abu Malik, Ikrimah, Hasan, Qatadah, ad-Dhahhak dan selainnya. Hadits-hadits turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam sebelum hari Kiamat sebagai Imam yang adil, dan hakim yang bijaksana adalah mutawatir. [7]

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah:

1. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، قَالَ: فَيَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَq فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ: تَعَالَ صَلِّ لَنَا فَيَقُوْلُ: لاَ، إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ، تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ.

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang berperang demi membela kebenaran sampai hari Kiamat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka kemudian turun Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam, kemudian pemimpin golongan yang berperang tersebut berkata kepada Nabi ‘Isa: ‘Kemarilah, shalatlah mengimami kami.’ Kemudian Nabi ‘Isa menjawab: ‘Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai penghormatan bagi umat ini." [8]

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ q حَكَمًا عَدْلاً، فَيَكْسِرَ الصَّلِيْبَ، وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيْرَ، وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ، وَيَفِيْضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ.

“Dan demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sudah dekat saatnya di mana akan turun pada kalian (‘Isa) Ibnu Maryam Alaihissalam sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah (upeti/pajak), dan akan melimpah ruah harta benda, hingga tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.” [9]

3. Sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihis salam:
“Para Nabi itu bersaudara seayah, sedangkan ibu mereka berbeda-beda dan agama mereka satu. Aku adalah manusia yang paling dekat terhadap ‘Isa bin Maryam, karena tidak ada Nabi lagi antara dia dan aku. Dan dia akan turun (kembali). Jika kalian melihatnya, maka kenalilah oleh kalian bahwa dia adalah laki-laki yang sedang tingginya, berkulit putih kemerah-merahan, dia memakai dua buah baju yang agak kemerahan, seakan di kepalanya meneteskan air walaupun tidak basah. Dia akan mematahkan salib, membunuh babi dan menghapus jizyah serta menyeru manusia kepada Islam. Di zamannya, Allah akan menghancurkan seluruh agama kecuali Islam. Dan Allah akan membunuh al-Masih ad-Dajjal. Kemudian terciptalah keamanan di muka bumi, hingga singa dengan unta mencari makan (di tempat yang sama) dan (demikian pula) harimau dan sapi, juga serigala dan kambing, serta anak-anak kecil bermain-main dengan ular tanpa mem-bahayakan mereka. Beliau tinggal selama empat puluh tahun, kemudian wafat dan kaum Muslimin menshalatkannya.” [10]

Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam memberikan hikmah yang besar, di antaranya:

1. Membantah Yahudi yang beranggapan bahwa mereka telah membunuh ‘Isa Alaihissalam. Padahal Nabi ‘Isa-lah yang akan membunuh pimpinan mereka yaitu Dajjal.
2. Sesungguhnya Nabi ‘Isa Alaihissalam mendapatkan di dalam Injil tentang keutamaan ummat Muhammad [Al-Fath: 29] Dan beliau berdo’a agar dimasukkan di antara mereka (ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan do’a beliau ketika beliau turun pada akhir zaman, dan beliau menjadi mujaddid (pembaharu) agama Islam.
3. Bahwa turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam dari langit untuk dimakamkan di bumi, karena tidak ada makhluk dari tanah yang mati di selainnya.
4. Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam membongkar kebohongan Nashrani, menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus upeti.
5. Beliau memiliki keistimewaan yang khusus, karena jarak antara Dia dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dekat dan tidak ada Nabi lain yang memisahkan antara Nabi ‘Isa Alaihissalam dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Nabi ‘Isa Alaihissalam berhukum dengan syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadi pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau turun tidak membawa syari’at yang baru, karena agama Islam penutup segala agama dan Nabi ‘Isa Alaihissalam menjadi hakim ummat ini, karena tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Zamannya Nabi ‘Isa Alaihissalam adalah zaman yang penuh ketenangan, keamanan dan keselamatan. Allah mengirimkan hujan yang deras, menjadikan bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Harta berlimpah serta dihilangkan sifat-sifat iri, benci, dan dengki.
8. Lamanya Nabi ‘Isa Alaihissalam tinggal di bumi adalah selama 40 tahun. [11]

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً إِمَامًا عَدْلاً وَحَكَماً مُقْسِطًا.

“Beliau tinggal di bumi selama 40 tahun sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana.” [12]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. Lebih lengkapnya lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim oleh Ibnu Katsir, tahqiq Ahmad ‘Abdus Syaafi’, Fashlul Maqaal fi Raf’i ‘Isa Hayyan wa Nuzulihi wa Qatlihi ad-Dajjaal (hal. 337-364) oleh Dr. Muhammad Khalil Hirras dan Asyraa-thus Saa’ah dan Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[2]. HR. Muslim (no. 2937 (110)) dari Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu 'anhu. Lihat Syarah Shahiih Muslim (XVIII/67-38), oleh Imam an-Nawawi.
[3]. HR. Muslim (no. 156 (247)), Ahmad (III/384), Abu ‘Awanah (I/106), Ibnul Jarud (no. 1031) dan Ibnu Hibban (no. 6780) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anuhma.
[4]. Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu (hal. 142-143) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
[5]. Diringkas dari Fashlul Maqaal (hal. 13-14).
[6]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/644), cet. Daarus Salaam.
[7]. Tafsiir Ibni Katsiir (IV/139-140), cet. Daarus Salaam.
[8]. HR. Muslim (no. 156 (247)), Ahmad (III/384), Abu ‘Awanah (I/106), Ibnul Jarud (no. 1031) dan Ibnu Hibban (no. 6780) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’ bab Nuzuul ‘Isa Ibni Maryam (no. 3448), Fat-hul Baari (VI/490-494) dan Muslim Kitaabul Iimaan bab Nuzuul ‘Isa Ibni Maryam Haakiman bi Syari’ati Nabiyyinaa Muhammad j (no.155 (242)), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[10]. HR. Abu Dawud (no. 4324), Ibnu Hibban (IX/450, no. 6775, 6782 dalam Ta’liiqatul Hisaan) dan Ahmad (II/406, 437), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/214 no. 2182).
[11]. Lihat Asyraathus Saa’ah (hal. 355-363), oleh Dr. Yusuf al-Wabil.
[12]. HR. Ahmad (VI/75), Ibnu Hibban (no. 1905, Shahiih Mawaariduzh Zham’aan no.1599) dari ‘Aisyah x. Kata Imam al-Haitsamy: “Hadits ini rawi-rawinya shahih.” Lihat Majma’uz Zawaa-id (VII/338) dan Qishshatu Dajjal (hal. 60).

Senin, 28 Juni 2010

Sultan Muhammad Al-Fatih: Kunci Kejayaan Istanbul

0 komentar
Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Usmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara.

Bandar ini didirikan tahun 330M oleh Maharaja Bizantium yakni Costantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah SAW juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah pada perang Khandak.

Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Kostantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Muawiyah bin Abi Sufian RA. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayah.

Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arslan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos, tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.

Awal kurun ke-8 hijrah, Daulah Usmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildrim Beyazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Beyazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Leng.

Selepas Daulah Usmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih, sultan ke-7 Daulah Usmaniyah.

Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Kostantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi.

Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.

Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani.

Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal Alquran dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Ak Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Alquran, hadis, fikih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.

Syeikh Semsettin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis pembukaan Kostantinopel. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Semsettin untuk menyiapkan bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun sebanyak 250 ribu tentara. Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah SAW terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.

Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota

Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah SWT. Dia juga membacakan ayat-ayat Alquran mengenainya serta hadis Nabi SAW tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah SWT. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan zikir.

Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jamadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentera Usmaniyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Usmaniyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka. (rep) Dikutip oleh www.suaramedia.com

Minggu, 27 Juni 2010

Ada Apa Dengan Bulan Rajab ?

0 komentar
Penamaan Bulan Ini
Rajab adalah salah satu dari nama bulan Islam yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Rajab dalam bahasa Arab bermakna agung dan terhormat, bulan ini disebut dengan Rajab yang berarti agung dan terhormat karena kaum Jahiliyah dulu sangat mengagungkan dan menghormati bulan ini. Imam Ibnu Rajab Al Hanbali dalam Lathoif Al Ma’arif menyebutkan dari nukilan sebagian ulama ada 14 nama untuk bulan ketujuh ini dan sebagian lagi menyebut hingga 17 nama. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil penjelasan dari Ibnu Dihyah bahwa bentuk jamak dari kata Rajab adalah Arjaab, Rajabaanaat, Arjabah, Araajib dan Rajaabii, lalu beliau (Ibnu Dihyah) menyatakan bahwa bulan ini memiliki 18 nama kemudian beliau merinci satu demi satu nama tersebut (lihat Muqaddimah Tabyiin Al ‘Ajab)

Rajab Termasuk dari Bulan-Bulan Haram
Rajab merupakan salah satu diantara bulan yang memiliki kemuliaan selain Ramadhan karena dia termasuk diantara empat bulan yang haram. Kemuliaan dan keagungan ini telah diisyaratkan dalam Firman Allah Azza wa Jalla,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(QS. At Taubah : 36)
Dalam sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu Bakrah Nufai’ bin Harits radhiyallohu anhu dari Nabi shallallohu alaihi wasallam, beliau menerangkan keempat bulan haram yang dimaksud dengan sabdanya:
« إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ ...»
“Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,dalam setahun terdapat dua belas bulan diantaranya empat bulan haram; tiga bulan diantaranya berurutan, (keempat bulan haram itu adalah) Dzulqa’dah, Dzulhijjah Muharram dan Rajab bulan Mudhar yang berada diantara Jumada (Akhiroh) dan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengapa dinamakan bulan-bulan haram ?
Para ulama berbeda pendapat mengapa keempat bulan tersebut dinamakan dengan bulan haram, ada dua pendapat yang terkenal :
Pendapat Pertama : Dinamakan bulan haram dikarenakan besarnya kehormatan dan keagungan bulan-bulan tersebut serta besarnya akibat dari dosa yang dilakukan padanya. Abdullah bin Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata, “Allah mengkhususkan empat bulan yang dijadikannya sebagai bulan-bulan haram, kehormatannya sangat agung, dosa-dosa pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) dan Dia menjadikan amal sholeh dan pahalanya (di bulan tersebut) juga lebih besar” (lihat: Latho’if Al Ma’arif oleh Ibnu Rajab) . Salah seorang mufassir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Diamah As Sadusi ketika menjelaskan makna firman Allah di surat At Taubah ayat 36, “...maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu...”, beliau berkata, “Amalan sholeh di bulan-bulan haram lebih besar pahalanya sebagaimana perbuatan menganiaya lebih besar dosanya di bulan-bulan haram walaupun secara umum di bulan mana saja perbuatan menganiya adalah dosa besar” (lihat Tafsir Al Baghawi)
Pendapat Kedua : Dinamakan bulan-bulan haram karena peperangan diharamkan pada bulan-bulan tersebut dan hal ini sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah bahkan konon sejak zaman Nabi Ibrahim alaihis salam. Dalam Al Quran Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan haramnya berperang di bulan-bulan haram, (artinya) :
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh...(QS. Al Baqarah : 217).
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat apakah larangan berperang di bulan haram hukumnya tetap berlaku atau sudah mansukh? Jumhur ulama berpendapat hukumnya telah mansukh karena para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam banyak mengadakan penaklukan di berbagai negeri dan berjihad lalu tidak dinukil bahwa mereka berhenti pada saat memasuki bulan haram, hal ini menunjukkan bahwa mereka ijma’ larangan tersebut telah mansukh. Sebagian ulama salaf diantaranya ‘Atho’ memandang hukumnya tetap berlaku dan tidak mansukh, sebagian ulama lain merinci hukumnya dan mengatakan larangan tersebut berlaku jika mengawali peperangan di bulan-bulan haram adapun jika awalnya terjadi di luar bulan haram lalu berlanjut hingga bulan-bulan haram maka hal tersebut tidak mengapa atau rincian lain bahwa larangan tersebut jika jihad yang ofensif (menyerang) adapun jika jihad dalam rangka mempertahankan diri maka boleh di bulan apa saja , wallohu a’lam (lihat : Tafsir al Qurthubi, Zaadul Masir, tafsir as Sa’di dll)

Adakah Keistimewaan dan Amalan Khusus yang Dianjurkan di Bulan Rajab?
Para ulama kita menjelaskan bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keistimewaan dan keutamaan jika dibandingkan bulan-bulan lainnya kecuali bulan Ramadhan. Namun mereka berbeda pendapat manakah diantara empat bulan haram tersebut yang lebih afdhal; sebagian ulama Syafi’iyyah mengatakan yang paling afdhal bulan Rajab akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi, Tabi’in yang mulia Hasan al Bashri mengatakan bulan Muharram dan ini yang ditarjihkan oleh imam Nawawi dan pendapat ketiga mengatakan bulan Dzulhijjah, pendapat terakhir ini diriwayatkan dari Said bin Jubair dan ini yang cenderung dipilih oleh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahumullohu jami’an.
Kemudian telah kita sebutkan sebelumnya beberapa perkataan ulama yang menjelaskan keutamaan beramal sholeh di bulan-bulan haram, dengan demikian semua jenis ibadah dan amalan sholeh yang disyariatkan sepanjang tahun dianjurkan untuk diperbanyak pada bulan-bulan haram termasuk diantaranya bulan Rajab. Akan tetapi adakah amalan sholeh yang khusus dianjurkan di bulan Rajab?

Amalan Khusus yang Banyak Dikerjakan di Bulan Rajab dan Hukumnya
Jika kita melihat realita ummat kita maka kita dapati ada beberapa amalan yang dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin secara khusus di bulan ini. Sebagian dari amalan tersebut memiliki dasar yang butuh penjelasan akan hakikatnya dan sebagian lagi tidak memiliki dasar sama sekali. Berikut ini beberapa contoh amalan yang banyak dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin di bulan Rajab beserta penjelasan singkat tentang hukumnya :
1. Umroh di bulan Rajab
Dalil yang digunakan untuk menganjurkan umroh adalah atsar dari Ibnu Umar radhiyallohu anhuma
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan umrah sebanyak empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab. (HR. Tirmidzi dan dishohihkan oleh Albani).
Atas dasar itu maka Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma mengutamakan umroh di bulan Rajab. Salim bin Abdullah bin Umar mengatakan, “Adalah Abdullah bin Umar menyukai berumroh di bulan Rajab -yang merupakan bulan haram- dari bulan-bulan yang ada dalam setahun” (Atsar ini shohih diriwayatkan oleh Abu Muhammad Hasan Al Khallal dalam Fadhoil Syahr Rajab, no.9)
Namun pendapat ini telah dibantah oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallohu anha; sebagaimana diceritakan oleh tabi’in mulia Mujahid bin Jabr, beliau berkata, Aku dan Urwah bin Zubair masuk ke mesjid Nabawi ternyata ada Abdullah bin Umar yang duduk menghadap kamar Aisyah...kemudia aku bertanya kepada Ibnu Umar, “Berapa kali Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berumroh? Beliau menjawab, “Empat kali, salah satunya di bulan Rajab” Mujahid berkata, “Kami tidak suka membantah perkataan beliau, lalu kami mendengar suara siwak Aisyah Ummul Mukminin dari kamar beliau maka Urwah bertanya, “Wahai Ibu,wahai ummul mukminin, apa engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Abdirrahman(Ibnu Umar)? Beliau bertanya, “Apa yang beliau (Ibnu Umar) katakan?” Urwah menjawab, “Beliau (Ibnu Umar) berkata sesungguhnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah berumroh empat kali dan salah satunya di bulan Rajab” Aisyah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, beliau shallallohu alaihi wasallam tidak pernah berumrah kecuali dia menyaksikannya dan beliau tidak pernah umroh sekalipun di bulan Rajab” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Aisyah radhiyallohu anhu ditarjihkan dan didukung oleh banyak ulama diantaranya Al Allamah Al Muhaqqiq Ibnu Qayyim Al Jauziyah di kitab beliau Zaadul Ma’ad (2/116), bahkan beliau menegaskan kekeliruan orang menyatakan hal itu,wallohu a’lam
2. Menyembelih di bulan Rajab
Mikhnaf bin Sulaim radhiyallohu anhu berkata, kami sedang berwukuf dengan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di padang Arafah lalu beliau mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً وَعَتِيرَةً أَتَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ هَذِهِ الَّتِي يَقُولُ النَّاسُ الرَّجَبِيَّةُ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga dalam setiap tahunnya berudhiyyah dan ‘atirah, tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ‘Atirah? Ini yang orang menamakannya dengan Rajabiyyah” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud serta dihasankan oleh Albani)
‘Atirah atau Rajabiyyah adalah sembelihan yang dikenal di zaman Jahiliyah dimana mereka melakukannya di sepuluh hari pertama dari bulan Rajab dalam rangka taqarrub kepada Allah. Di zaman Jahiliyyah mereka persembahkan sembelihan tersebut kepada berhala-berhala mereka, kadang didahului dengan nadzar dan kadang tanpa ada nadzar sebelumnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ‘atirah dalam syariat Islam dan yang rojih insya Allah hukumnya telah mansukh (tidak berlaku lagi) dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama sebagaimana yang dinukil oleh imam Nawawi dari al Qadhi ‘Iyadh rahimahumalloh, karenanya imam Abu Daud setelah meriwayatkan hadits di atas beliau menegaskan bahwa hadits ini mansukh hukumnya,wallohu a’lam
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hal ini telah mansukh, sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa beliau bersabda,
لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ قَالَ وَالْفَرَعُ أَوَّلُ نِتَاجٍ كَانَ يُنْتَجُ لَهُمْ كَانُوا يَذْبَحُونَهُ لِطَوَاغِيَتِهِمْ وَالْعَتِيرَةُ فِي رَجَبٍ
"Tidak ada Fara' dan Atirah. Fara' adalah anak pertama seekor unta yang mereka sembelih untuk sesembahan mereka, dan Atirah adalah hewan (kambing) yang mereka sembelih di bulan Rajab." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Puasa sunnah
Tidak ada hadits shohih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan Rajab, karenanya sebagian dari ulama Salaf diantaranya Ibnu Umar radhiyallohu anhuma, Hasan al Bashri dan Abu Ishaq as Sabi’i rahimahumallohu memperbanyak puasa sunnah di keseluruh bulan haram tanpa mengkhususkannya di bulan Rajab.
Beberapa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam diantaranya Aisyah, Umar bin Khaththab, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallohu anhum jami’an telah mengingkari orang yang berpuasa penuh di bulan Rajab atau mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Ibnu Sholah rahimahulloh berkata, “Tidak ada hadits shohih yang melarang atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum”
Imam Nawawi rahimahulloh berkata, “Tidak ada larangan demikian pula anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara umum hukum asal puasa adalah dianjurkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata tentang hadits-hadits keutamaan berpuasa dan sholat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta menurut kesepakatan para ulama”
Asy Syaikh Utsaimin rahimahulloh berkata, “Tidak ada keutamaan khusus yang dimiliki oleh bulan Rajab dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, tidak dikhususkan umroh, puasa, shalat, membaca al quran bahkan dia sama saja dengan bulan haram lainnya. Seluruh hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat atau puasa padanya maka derajatnya lemah yang tidak boleh dibangun di atasnya hukum syar’i”
4. Sholat Raghaib
Sholat ini jumlah rakaatnya 12 dengan enam kali salam, biasanya dikerjakan setelah shalat Maghrib di Jumat pertama bulan Rajab. Bacaan dalam setiap rakaat setelah surat Al Fatihah adalah surat Al Qadar sebanyak 3 kali dan surat Al Ikhlash sebanyak 12 rakaat. Setelah shalat biasanya mereka bershalawat sebanyak 70 kali lalu mereka berdoa sesukanya. Sholat yang seperti ini tidak diragukan lagi termasuk shalat yang bid’ah karena hadits yang menyebutkannya termasuk hadits palsu sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’aat.
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berhujjah dengan larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat dan puasa sebagai dalil tidak dibencinya shalat bid’ah yang dinamakan dengan shalat raghaib, semoga Allah membinasakan orang yang membuatnya, karena shalat tersebut bid’ah mungkar yang sesat dan tanda kejahilan, di dalamnya terdapat kemungkaran yang jelas. Sekelompok dari para imam telah menyusun tulisan yang berharga dalam menjelaskan keburukannya dan sesatnya orang yang mengerjakan dan melakukan bid’ahnya. Dalil-dali tentang keburukan, kebatilan dan kesesatan pelakunya sangatlah banyak tidak terhingga” (Syarah shohih Muslim)
Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, Adapun ibadah sholat maka tidak ada dalil shohih yang mengkhususkannya, hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan sholat Raghaib di awal Jumat bulan Rajab dusta dan batil serta tidak shohih. Sholat raghaib termasuk bid’ah menurut mayoritas para ulama...Bid’ah ini pertama kalinya muncul setelah tahun 400-an hijriyah oleh karena itu para ulama terdahulu tidak mengetahuinya dan tidak membicarakannya” (Lathoif al Ma’arif)
Termasuk bid’ah dalam persoalan shalat di bulan Rajab adalah sholat yang dikerjakan secara khusus di pertengahan bulan Rajab. (lihat al Muadhu’aat oleh Ibnul Jauzi)
5. Peringatan Isra’ dan Mi’raj
Tidak ada hadits-hadits yang shahih yang menentukan kapan sebenarnya terjadi malam Isra’ dan Mi’raj apakah dia di bulan Rajab atau selainnya. Dan setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya malam tersebut adalah hadits lemah menurut para ulama hadits. Dan dilupakannya manusia akan waktu terjadinya merupakan hikmah besar yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla. Bahkan sekiranya ada dalil shahih yang menentukan kapan terjadinya Isra’ Mi’raj maka tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah tertentu dan tidak boleh pula merayakannya karena Nabi shallallohu alaihi wasallam dan para sahabatnya radhiyallohu anhum tidak pernah merayakannya dan tidak pula mengkhususkan malam tersebut dengan sesuatu kegiatan. Seandainya perayaan tersebut disyariatkan tentu Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah menjelaskannya kepada ummatnya, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan dan seandainya hal itu pernah dilakukan tentu para sahabat akan menukilkan kepada kita karena mereka telah menukil dari Nabi mereka, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat ini dan mereka tidak pernah lalai menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan Ad Dien, bahkan mereka adalah orang-orang yang bersegera kepada setiap kebaikan, maka seandainya memperingati malam tersebut disyariatkan tentu mereka orang yang paling pertama melakukannya. Hudzaifah radhiyallohu anhu berkata : Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah maka jangan kamu beribadah dengannya”. Said bin Jubair rahimahulloh juga telah mengatakan : “ Apa yang tidak dikenal oleh ahli Badar bukanlah bagian dari Ad Dien
Nabi shallallohu alaihi wasallam juga orang yang paling banyak bernasehat kepada manusia dan menyampaikan seluruh risalah ini serta telah menunaikan amanah. Maka seandainya mengagungkan dan merayakan malam tersebut merupakan bagian dari Ad Dien tentu Nabi shallallohu alaihi wasallam telah menyampaikannya dan tidak akan menyembunyikannya. Karenanya ketika hal itu tidak beliau sampaikan, maka diketahuilah bahwa merayakan dan mengagungkannya bukanlah bagian dari Islam sedikitpun, dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan bagi ummat ini dien mereka serta mencukupkan nikmat-Nya atas mereka dan Dia mengingkari siapa saja yang membuat syariat yang tidak diizinkan-Nya, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al Maidah:3
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam jadi agama bagimu”

Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah disebutkan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa bulan Rajab adalah salah satu diantara bulan-bulan suci yang dihormati, seyogyanya bagi seorang muslim yang mengagungkan Rabbnya memuliakan bulan ini dengan memperbanyak amalan-amalan sholeh dan menghindarkan dirinya dari segala macam yang dilarang dalam syariat berupa maksiat dan lainnya. Tidak ada dalil shohih yang menganjurkan amalan khusus di bulan ini karena itu bagi yang ingin meraih kemuliaan bulan ini, hendaknya mencukupnya dirinya dengan amalan-amalan yang disyariatkan dan jangan melakukan hal-hal baru dalam peribadatan yang menjerumuskan dirinya dalam bid'ah yang justru akan menodai kehormatan bulan ini dan menjadikannya terjatuh dalam dosa besar,
Wallohu A'lam wahuwa Waliyyut Taufiq

Sumber : http://markazassunnah.blogspot.com/2010/06/ada-apa-dengan-bulan-rajab.html

Hadits-Hadits Dha'if dan Maudhu’ Seputar Bulan Rajab

0 komentar
Hadits Pertama :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ رَجَب قَالَ : « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu adalah Nabi shallallohu alaihi wa sallam jika sudah berada di bulan Rajab, beliau berdoa: "Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban serta perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan"
Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam di kitab hadits mereka, diantaranya :
1. Imam Thabrani di Al Mu’jam Al Ausath (4/189) dan di kitab Ad Du’a (1/284); lafal hadits di atas sebagaimana yang beliau riwayatkan di Al Ausath
2. Imam Ahmad di Musnad; Kitab Musnad Bani Hasyim, Bab Bidayah Musnad Abdullah bin Abbas (2342), akan tetapi beliau meriwayatkan dengan lafazh: “...wa baarik lanaa fi Ramadhan”
3. Baihaqi di Syu’abul Iman (3/375) dan di kitab Fadhoil Al Awqat (1/105)
4. Bazzar di Musnadnya (2/290)
5. Ibnu As Sunni di Amal Al Yaum wal Lailah
6. Abu Muhammad Hasan bin Muhammad Al Khallal di Fadhlu Rajab (no.1)
Keterangan :
Dalam sanad hadits ini ada dua perowi yang lemah;
Pertama : Zaidah bin Abu Ruqad Al Bahili; dia seorang yang munkarul hadits (haditsnya mungkar) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari, Nasai, dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu Hatim Ar Rozi mengatakan, “Dia meriwayatkan dari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik hadits-hadits yang marfu’ namun mungkar...”. Ibnu Hibban di kitabnya Al Majruhin menerangkan, “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar dari perawi-perawi yang terkenal”
Kedua : Ziyad bin Abdullah An Numairi dia juga seorang yang dinilai lemah oleh Imam Yahya Bin Ma'in, Abu Daud dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu Hatim berkata : “Haditsnya boleh ditulis namun tidak dijadikan sebagai hujjah”.

Hadits Kedua :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنّ في الجَنّةِ نَهْراً يُقالُ لهُ رَجَبٌ, مَاؤُهُ أشَدُّ بَياضاً مِنَ اللَّبَنِ وأحْلَى مِنَ العَسَلِ مَنْ صامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ سَقاهُ الله مِنْ ذلِكَ النَّهْرِ »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada sungai yang disebut dengan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab, Alloh akan memberinya minum dari sungai tersebut.”
Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam diantaranya :
1. Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/367)
2. Abu Muhammad Hasan bin Muhammad Al Khallal dalam Fadhoil Syahr Rajab (no.3)
3. Ibnul Jauzi di Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (2/255)
Keterangan :
Hadits ini lemah karena pada sanadnya terdapat rowi yang bernama Manshur bin Zaid Al Asadi dan Musa bin Umair Al Qurasy.
Manshur bin Zaid adalah seorang yang majhul dan tidak ada meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Al Mughiroh. Adapun Musa bi Umair Al Qurasyi dia perowi yang lemah, Imam Abu Hatim mengatakan bahwa haditsnya ditinggalkan dan dia seorang pendusta. Al ‘Uqaili dalam Kitab Adh Dhu’afa Al Kabir mengatakan bahwa haditsnya mungkar. Ibnu Ma’in juga menyebutkan bahwa dia bukan perowi yang diperhitungkan.
Diantara ulama yang menerangkan kelemahan hadits ini:
• Imam Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Al ‘Ilal Al Mutanahiyah mengatakan tentang hadits ini, “Hadits ini tidak shohih pada sanadnya ada rowi-rowi yang majhul kita tidak mengenali siapa mereka”
• Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab menyebutkan hadits ini sebagai hadits pertama dari contoh hadits-hadits lemah tentang keutamaan Rajab lalu beliau merinci penjelasan tentang kelemahan periwatannya
• Al Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits batil

Hadits Ketiga :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يتم صوم شهر بعد رمضان إلا رجب وشعبان
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak pernah berpuasa penuh selama sebulan setelah Ramadhan melainkan pada bulan Rajab dan Sya’ban.”
Takhrij :
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam, diantaranya :
1. Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath (9/161)
2. Baihaqi di Syuabul Iman (3/369)
3. Al Khallal di Fadhl Syahr Rajab (no.4)
Keterangan :
Hadits ini sanadnya dinilai lemah oleh banyak imam diantaranya Imam Baihaqi karena dalam sanadnya terdapat seorang yang bernama Yusuf bin Athiyyah Ash Shoffar padahal hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Thabrani tidak ada meriwayatkannya dari Hisyam kecuali Yusuf bin Athiyyah.
Berikut perkataan para imam tentang Yusuf bin Athiyyah Ash Shoffar :
• Bukhari berkata, “Munkarul hadits (Haditsnya mungkar)”
• Nasaai berkata, “Matrukul hadits” (Haditsnya ditinggalkan)
• Yahya bin Ma’in, “Dia tidak ada apa-apanya”
• Jauzjani berkata, “Haditsnya tidak terpuji”
• Ibnu Hibban berkata, “Dia termasuk seorang yang senantiasa membalikkan sanad-sanad; mengganti matan hadits palsu dengan sanad hadits yang shohih lalu dia meriwayatkannya. Tidak boleh sama sekali berhujjah dengannya”
• Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (3/439) mengatakan bahwa dia seorang yang dhoif (lemah)
• Dzahabi mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan kelemahannya
• Ibnu Hajar berkata dalam Tabyin Al ‘Ajab: “Hadits ini mungkar karena Yusuf bin ‘Athiyah seorang yang dha’if jiddan (sangat lemah)”.

Hadits Keempat :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « رَجَبٌ شَهْرُ الله تعالى، وشَعْبانُ شَهْرِي ، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي... »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Rajab adalah bulannya Alloh, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulannya ummatku...”
Takhrij :
Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Asakir di Mu’jamnya (1/114) dan Imam Baihaqi di Fadhoil Al Auqat (1/95)
Keterangan :
Hadits ini dinilai sebagai hadits yang maudhu’ (palsu) oleh banyak ulama, diantaranya :
1. Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’at (2/436-438, no. 1008); beliau menyebutkan bahwa para perowi hadits ini tidak dikenal dan terdapat seorang yang bernama Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Jahdham, dia tertuduh sebagai seorang yang pendusta
2. Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at
3. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Al Manar Al Munif
4. As Suyuthi dalam Al La-aali Al Mashnu’ah
5. Ibnu Hajar dalam Tabyiin Al ‘Ajab, beliau berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr an-Naqqosy al-Mufassir, dan diriwayatkan pula oleh al-Hafizh Abul Fadhl Muhammad bin Nashir di dalam Amali-nya dari an-Naqqosy dengan riwayat yang lengkap -beliau menyebutkan keutamaan setiap hari pada hari-hari di bulan Rajab- lalu Al Hafizh berkata : an-Naqqosy ini adalah seorang pemalsu hadist dan dajjal (pendusta). Imam Abul Khithob Ibnu Dihyah setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata, “hadits ini maudhu’“.

Hadits Kelima :
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فضل شهر رجب على سائر الشهور كفضل القرآن على سائر الأذكار...».
Dari Anas “Keutamaan Rajab atas seluruh bulan bagaikan keutamaan al-Qur’an atas seluruh dzikir…”
Takhrij :
Ibnu Hajar menyebutkan sanad hadits ini dari Al Hafizh Abu Thohir As Silafi
Keterangan :
Hadits ini dimasukkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab sebagai salah satu contoh dari hadits maudhu’ (palsu) tentang keutamaan Rajab, beliau berkata setelah menyebutkan hadits di atas : “Rijal (Para perawi) sanad ini adalah tsiqot (terpercaya) kecuali as-Saqothi, karena ia cacat dan terkenal memalsukan hadits serta membuat sanad... .”

Hadits Keenam :
عن أبى سعيد الخدرى رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « رجب شهر الله الأصم، من صام من رجب يوما إيمانا واحتسابا استوجب رضوان الله الأكبر».
Dari Abu Said Al Khudri “Rajab adalah bulan Allah yang hening (tidak terjadi peperangan karena termasuk bulan Haram). Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab dengan penuh keimanan dan mengharap balasan dari Allah, niscaya dia mendapatkan keridhaan Allah terbesar.”
Keterangan :
Ibnu Hajar menjelaskan, “Matan hadits ini tidak memiliki asal, dia dibuat oleh Abul Barakat As Saqti lalu dia merangkai isnadnya...”
Abul Hasan Ibn Arraq dalam At Tanzih Asy Syari’ah mengatakan, “Dalam sanad hadits ini terdapat Abu Harun Al ‘Abdi seorang rawi yang matruk (ditinggalkan) dan yang meriwayatkan darinya ‘Ishom bin Tholiq seorang rowi yang tidak diperhitungkan. Kemungkinan cacat hadits ini berasal dari Abu Harun karena para ulama telah mendustakannya hingga sebagian ulama mengatakan bahwa dia lebih pendusta dari Fir’aun,Wallohu Ta’ala A’lam.
Asy Syaukani mengatakan dalam sanad haditsnya terdapat dua rowi yang matruk (ditinggalkan)

Hadits Ketujuh :
عن أنس مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام من رجب أغلق الله سبعة أبواب من النار...
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, Alloh akan mencatat baginya puasa sebulan dan barangsiapa yang berpuasa tujuh hari maka Alloh akan menutupkan darinya pintu tujuh neraka…”
Takhrij :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at dan Abu Syaikh dalam kitan Ats Tsawab
Keterangan :
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh banyak ulama, diantaranya Imam Ibnul Jauzi, Al Hafizh Ibnu Hajar, Suyuthi, Ibnu ‘Arraq dan Imam Syaukani
Pada sanad Ibnul Jauzi terdapat dua rowi yang sangat lemah yaitu Aban bin Abi ‘Ayyasy dan Amru bin Al Azhar. Berikut ini beberapa perkataan ulama tentang kedua rowi tersebut:
1. Penilaian ulama tentang Aban :
• Syu’bah bin Hajjaj pernah berkata, ‘Aku berzina lebih aku suka ketimbang meriwayatkan hadits dari Aban’.
• Imam Ahmad, Nasaai dan Daraquthni berkata : Matruk (ditinggalkan haditsnya).
2. Penilaian ulama tentang Amr bin Al Azhar
• Imam Ahmad berkata : Dia pernah memalsukan hadits
• Imam Yahya bin Ma’in, Daraquthni dan Dzahabi menyatakan : “Dia pendusta”
• Nasaai mengatakan : Matruk
• Ibnu Hibban : “Dia memalsukan hadits dari perowi-perowi yang terpercaya dan tidak halal menyebutkan namanya kecuali untuk dijelaskan cacatnya”
Adapun sanad Abu Syaikh terdapat seorang yang bernama Husain bin ‘Ulwan, Imam Suyuthi berkata, “Dia pemalsu hadits” dan hukum Suyuthi disetujui oleh Ibnu ‘Arraq

Hadits Kedelapan :
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « من صلى المغرب من أول ليلة من رجب، ثم صلى بعدها عشرين ركعة، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب، وقل هو الله أحد مرة، ويسلم فيهن عشر تسليمات، أتدرون ما ثوابه؟ ... حفظه الله في نفسه وأهله وماله وولده، وأجير من عذاب القبر، وجاز على الصراط كالبرق بغير حساب ولا عذاب »
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu.berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat Maghrib di awal malam bulan Rajab kemudian sholat dua puluh rakaat setelahnya, membaca pada setiap rakaatnya surat al-Fatihah dan qul huwallohu ahad satu kali serta mengucapkan salam sebanyak sepuluh kali salam, tahukah kalian apakah ganjarannya?”… Beliau bersabda : “Alloh akan menjaga dirinya, keluarganya, hartanya dan anaknya, dibebaskannya dari adzab kubur dan dia akan lewat di atas titian bagaikan kilat tanpa hisab dan tanpa adzab.”
Takhrij :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al Maudhu’at
Keterangan :
Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini palsu, kebanyakan perowinya majhul (tidak dikenal)
Silakan baca penjelasan ulama tentang hadits ini di al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (II/123), Tabyinul ‘Ajab hal. 20 dan al-Fawa`id al-Majmu’ah hal. 47 hadits no. 144.

Hadits Kesembilan :
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من صام يوما من رجب وصلى فيه أربع ركعات، يقرأ في أول ركعة مائة مرة آية الكرسي، وفى الركعة الثانية مائة مرة قل هو الله أحد، لم يمت حتى يرى مقعده من الجنة أو يرى له «
Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab dan sholat di dalamnya empat rakaat, dia membaca pada rakaat pertama ayat kursi sebanyak 100x dan membaca surat Al Ikhlas sebanyak 100x di rakaat kedua, maka ia tidak akan mati sampai ia melihat tempat duduknya di surga atau diperlihatkan padanya.”
Takhrij :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (2/435, no.1007)
Keterangan :
Dalam hadits ini terdapat rowi yang bernama Utsman bin’Atho, dia seorang perowi yang telah dilemahkan oleh para ulama diantaranya :
Yahya bin Ma’in berkata, Lemah dalam periwayatn hadits”
Amru bin Al Fallas berkata, “Haditsnya mungkar”,
Ibnul Jauzi mengatakan, Hadits ini palsu yang diatasnamakan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, kebanyakan perowinya majhul dan Utsman seorang yang matruk (ditinggalkan periwayatannya) oleh para ahli hadits

Hadits Kesepuluh :
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " رجب شهر الله وشعبان شهرى ورمضان شهر أمتى. ... لكن لا تغفلوا عن أول ليلة في رجب، فإنها ليلة تسميها الملائكة الرغائب، وذلك أنه إذا مضى بك الليل لا يبقى ملك مقرب في جميع السموات والارض إلا ويجتمعون في الكعبة وحواليها، فيطلع الله عز وجل عليهم إطلاعة فيقول: ملائكتي سلونى ما شئتم، فيقولون يا ربنا حاجتنا إليك أن تغفر لصوام رجب، فيقول الله عزوجل: قد فعلت ذلك. ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وما من أحد يصوم يوم الخميس أول خميس في رجب، ثم يصلى فيما بين العشاء والعتمة، يعنى ليلة الجمعة، ثنتى عشرة ركعة، يقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب مرة، وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات، وقل هو الله أحد اثنتى عشرة مرة، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة، فإذا فرغ من صلاته صلى على سبعين مرة، ثم يقول: اللهم صل على محمد النبي الامي وعلى آله، ثم يسجد فيقول في سجوده: سبوح قدوس رب الملائكة والروح سبعين مرة، ثم يرفع رأسه فيقول: رب اغفر لي وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت العزيز الاعظم سبعين مرة، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الاولى، ثم يسأل الله تعالى حاجته، فإنها تقضى.
Dari Anas bin Malik berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Rajab itu bulannya Alloh, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku… akan tetapi janganlah kalian lalai dari awal waktu di malam Jum’at pada bulan Rajab, karena itu adalah malam yang dinamakan malaikan dengan ar-Ragha`ib. Dan yang demikian ini apabila telah berlalu sepertiga malam tidaklah tersisa seorang malaikatpun di penjuru langit dan bumi melainkan mereka berkumpuk di Ka’bah dan sekitarnya. Lalu muncullah Alloh Azza wa Jalla di hadapan mereka seraya berfirman : “wahai Malaikat-Ku, mintalah kepadaku sekehendak kalian.” Mereka menjawab : “wahai Tuhan kami, keinginan kami kepada-Mu adalah Engkau mengampuni orang yang berpuasa di bilan Rajab.” Alloh Azza wa Jalla berfirman : “Aku telah melakukannya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “dan tidaklah seorang berpuasa pada hari Kamis, awal Kamis pada bulan Rajab, kemudian ia sholat diantara waktu isya’ hingga pagi yaitu pada malam Jum’at sebanyak dua belas rakaat…dst”
Keterangan :
Hadits ini maudhu’, silakan lihat penjelasannya di al-Maudhu’at (II/126), Tabyinul ‘Ajab hal. 25 dan al-Fawa`id al-Majmu’ah oleh asy Syaukani hal. 50 hadits no. 147.

Hadits Kesebelas :
عن على بن أبى طالب رضى الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إن شهر رجب شهر عظيم، من صام منه يوما كتب الله له صوم ألف سنة، ومن صام يومين كتب الله له صيام ألفى سنة، ومن صام ثلاثة أيام كتب الله له صيام ثلاثة ألف سنة، ومن صام من رجب سبعة أيام أغلقت عنه أبواب جهنم، ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية يدخل من أيها شاء، ومن صام منه خمس عشرة يوما بدلت سيئاته حسنات ونادى مناد من السماء: قد غفر الله لك فاستأنف العمل، ومن زاد زاده الله عزوجل ".
Dari Ali bin Abi Tholib radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya bulan Rajab itu adalah bulan yang agung. Barangsiapa yang berpuasa padanya sehari saja Alloh mencatat baginya puasa seribu tahun, barangsiapa yang berpuasa dua hari Allah mencatat baginya puasa dua ribu tahun....”
Keterangan :
Ibnul Jauzi berkata, “Hadits ini tidak shohih berasal dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam”
Abu Hatim Ibnu Hibban berkata tentang salah seorang perowi hadits ini, Tidak boleh berhujjah dengan Harun karena dia meriwayatkan riwayat-riwayat mungkar yang banyak hingga orang yang mendengarkannya beranggapan di dalam hatinya bahwa Harun sengaja melakukannya”
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini tidak diragukan lagi bahwa hadits palsu dan yang tertuduh (memalsukannya) adalah Ishaq bin Ibrahim Al Khuttali

Wallohu Ta'la A'lam wahuwa Waliyyut Taufiq

Sumber : http://markazassunnah.blogspot.com/2010/06/hadits-hadits-dhaif-dan-maudhu-seputar.html